“Itu sebabnya orang-orang bicara, kan? Karena keadaan tidak akan berubah kalau kita tidak mengatakan apa-apa.”
BAGI SEBAGIAN ORANG, hidup sebagai Starr Carter adalah sebuah polemik. Namun bagi sebagian lainnya, Starr Carter adalah perpanjangan tangan Yesus Hitam yang akan mengangkat kehidupan masyarakat Garden Heights ke taraf yang lebih baik. Bagaimana tidak, di tengah usianya yang baru menginjak 16 tahun, Starr harus berhadapan dengan monster yang meluluhlantakkan kehidupannya dengan mudah. Monster itu bernama kebencian—atau sesuatu yang lahir dari kebencian yang lama tertanam dan mendarah daging.

Khalil—teman masa kecilnya—harus tewas ditembak seorang polisi kulit putih dengan nomor identitas satu-lima-belas. Tepat setelah mereka berkendara meninggalkan pesta Big D yang berantakan. Kendati Khalil diisukan sebagai pengedar narkoba dan anggota King Lord, namun tembakan yang diletuskan tetap saja di luar prosedur hukum yang benar. Sayangnya sebagaimana kenyataan berlaku bagi komunitas kulit hitam di Amerika, mereka selalu menjadi yang salah sekali pun menggenggam kebenaran yang luar biasa.

Tidak heran, Starr sudah diajari cara menghadapi polisi dengan baik sejak berusia 12 tahun—usia yang sang mama anggap terlalu kecil untuk memahami hal tersebut. “Starr, turuti saja perintah mereka,” kata Daddy. “Tanganmu harus selalu terlihat. Jangan membuat gerakan mendadak. Hanya bicara saat mereka mengajakmu bicara.” Starr paham seberapa pelik hal yang sedang dijelaskan oleh Meverick Carter. Ketika peristiwa nahas itu terjadi, Starr berharap bahwa Khalil pernah mendapatkan wejangan serupa dari keluarganya—tapi ternyata dia tidak.

KASUS RASISME YANG MELELAHKAN BATIN

Kasus rasisme terhadap kulit hitam memang mewabah—seperti halnya yang terjadi di Mississippi tempat Angie Thomas sang penulis berasal. Tentu bentrok antara komunitas dengan aparat semacam polisi adalah hal yang lazim. Bagi Angie Thomas, rasisme yang berabad-abad memojokkan komunitasnya adalah sebuah kejahatan besar, namun tak banyak suara kaum minoritas yang didengar. Meski mereka hanya menuntut hak dasar sebagai warga negara untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama.

Seperti halnya Starr Carter, Angie Thomas kecil sudah diajari oleh ayahnya bagaimana cara menghadapi polisi dengan baik. Dia juga menjadi saksi dari sesama kulit hitam yang nasibnya nahas di tangan hukum yang timpang. Sebut saja kasus yang menimpa Emmet Louis Till, Oscar Grant, Trayvon, Eric, Tamir, dan nama-nama lain yang terabaikan media dan sejarah. Kejadian ini—monster-monster itu—menakutkan. Lebih dari menakutkan, monster itu telah menjadi sistem yang mematikan. Dan tragisnya dibenarkan oleh suara mayoritas.

Secara eksplisit, pengalaman-pengalaman pribadi Angie Thomas menjadi corak utama dari perjalanan Starr Carter pada THE HATE U GIVE. Pemikiran-pemikiran jernih yang mengatakan bahwa kejahatan ini harus diakhiri membuatnya frustrasi, marah, dan murka. Sayangnya, tak ada harapan dari institut seni di lingkungan masyarakat kulit putih yang menjadi almamaternya kini, selayaknya Williamson bagi Starr Carter. Mereka telah termakan kebencian yang tertanam dan menjadi nilai sosial yang saklek.

Menariknya, Mississippi tidak hanya terkenal sebagai rumah dari rasisme, negara bagian Amerika yang terletak di wilayah selatan ini juga dikenal sebagai rumahnya para penulis. “Mississippi terkenal atas dua hal, kegiatan menulis dan rasisme. Dan kebetulan saya seorang penulis yang menulis tentang rasisme,” ujarnya pada THE GUARDIAN. Buku dan menulis kemudian menjadi suara lantangnya untuk menggugat, menjadi alatnya yang mematikan untuk berperang. “Rudine Sims Bishop (penulis dan pendidik) berkata bahwa buku adalah cermin, jendela, pintu kaca geser, dan itu penting dalam tindakan perlawanan.”

Perlawanan Angie Thomas terhadap sistem monster itu berbuah hasil, novel debut dari perempuan yang bekerja sebagai sekretaris di sebuah keuskupan di wilayah Jackson itu meledak. Gaung frustrasi, marah, dan murka yang dulu dipendamnya menjadi bestseller di Amerika Serikat lebih dari setahun. THE HATE U GIVE menjadi nomine dan membawa penghargaan dari berbagai jenis ajang penganugerahan. Tak lama kemudian, THE HATE U GIVE mengubah bentuknya menjadi film. Padahal, 150 buku sebelumnya dari perempuan berusia 31 tahun ini mengalami penolakan yang menyakitkan dari berbagai agen penerbit. Hal yang lebih penting, perjalanan hidup Starr Carter dalam novel setebal 488 halaman itu dibaca banyak orang dan memberikan pengaruh positif yang berujung pada pergerakan nyata.

Angie Thomas pada Atlanta Red Carpet Screening, Georgia. sc: eu.clarionledger.com
PRIBADI ANGIE THOMAS DALAM STARR CARTER 

Selayaknya Angie Thomas, Starr Carter pun tidak menyangka bahwa keberaniannya untuk berbicara di depan juri dan publik akan mengubah sesuatu. Kendati semenjak melihat teman kecilnya sendiri tewas tertembak dan bagaimana dunia malah menyudutkannya, Starr dirundung tidak hanya rasa trauma tapi ketakutan akan menjadi Khalil selanjutnya. Dunia sangat kejam terhadap masyarakat kulit hitam, lebih kejam terhadap anak dari masyarakat berkulit hitam.

Beruntungnya, Starr memiliki keluarga yang terdidik. Mereka paham bagaimana harus memperlakukan Starr, baik saat Starr tak butuh teman bicara atau ketika gadis itu perlu dorongan untuk menguraikan kebenaran di hadapan banyak orang. Di antara lingkungan Garden Heights yang tidak bisa lepas dari narkoba dan aksi premanisme, segelintir orang waras di sekitarnya mampu menjadi sarang tempatnya berkembang. Dan perkembangan karakter Starr dari awal hingga akhir cerita sangat menonjol—menjelmakan dengan jelas hasrat-hasrat dan mimpi Angie Thomas terhadap isu yang disuguhkannya.

Terlepas dari permasalahan pelik yang diusung, novel ini dibawa dengan penceritaan khas dewasa muda yang sederhana dan jujur. Angie Thomas benar-benar berhasil meramu konflik yang tabu dan riskan menuai pro kontra dengan cara yang bersahabat sehingga mudah diterima oleh berbagai kalangan. Tidak ada justifikasi yang memihak, semua benar dan salah sesuai dengan konteks konflik yang dikembangkan.

Angie mengakhiri THE HATE U GIVE dengan realistis kendati cukup memukul hati. Akhir yang cerdas, sebab ketidakpuasan akan memberikan kesan yang lebih mendalam dari pada kebahagiaan. Dengan demikian, pembaca tahu bahwa kasus Khalil dan kasus-kasus serupa di dalam kehidupan nyata mereka tidak pernah benar-benar berakhir sekali pun sudah dinyatakan tutup buku. Tidak bagi mereka yang hatinya tergerak.

Sebab pada kenyataannya, jalan THE HATE U GIVE tidak semudah yang terlihat. Di antara para penggemar dan yang tergerak hatinya, novel ini menemui beberapa penentangan. Tapi Angie Thomas tetap berjalan tanpa membiarkan nada-nada sumbang membuat hasratnya menciptakan perubahan mati begitu saja. Harapannya agar THE HATE U GIVE mampu menyentuh lebih banyak dewasa mudah masa kini yang kelak akan menjadi politisi masa depan, begitu ujarnya pada NEW YORK TIMES.

Aku tahu apa yang anak-anak baca hari ini akan berpengaruh pada menjadi masyarakat semacam apa mereka nanti. Aku teguh meyakini bahwa jika pemimpin kita saat ini membaca buku mengenai anak berkulit hitam ketika mereka kecil, kita tidak akan berada di posisi yang sama seperti saat ini. Jika mereka membaca buku tentang anak Latin, mereka tidak akan meminta tembok-tembok.

Kendati mengatasnamakan komunitas kulit hitam, harapan Angie terbentang lebih luas dari Garden Heights atau Mississippi. Harapan itu memeluk lebih banyak minoritas yang perlu beraliansi untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terabaikan juga membunuh monster-monster bernama kebencian—THE HATE U GIVE little infants fucks everybody.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *