Kappa adalah salah satu makhluk mitologi bagi masyarakat Jepang. Makhluk ini disebut memiliki keserupaan dengan manusia dan kura-kura, atau campuran keduanya. Tubuhnya telanjang dengan batok kepala lengkung sebagai tadahan air. Ada yang bilang, dia suka mengajak ribut manusia-manusia yang berpapasan dengannya. Kappa terlalu superpower untuk dilawan. Namun selayaknya makhluk dia juga memiliki kelemahan. Tumpahkan saja air-air yang menggenang di cekungan batok kepalanya, lantas dia tak akan berdaya. Sebagai makhluk mitologi, tentu saja ada kaum-kaum yang mempercayai keberadaan Kappa, ada juga yang tidak.
Sebagai masyarakat modern, saya percaya jika probabilitas eksistensi makhluk-makhluk mitologi itu ada tapi tentu saja tidak lebih dari seperempat persen. Jauh sekali jika ditarik ke belakang—pada zaman kisah menyebar dari mulut ke mulut—makhluk-makhluk mitologi barangkali bersumber pada yang benar-benar hidup dan punah sekarang atau figur-figur hasil kesalahpahaman masyarakat terhadap dinamika di sekitar lingkungannya.
Namun bagaimana jika ada seorang saksi mata yang mengiakan kehadiran mereka?
APAKAH KAPPA BENAR-BENAR ADA?
Kappa karya Ryunosuke Akutagawa diawali dengan cerita mengenai seorang penghuni ruang rawat nomor 23 sebuah rumah sakit. Pasien di usia sekitar tiga puluh tahun tersebut berkata bahwa dia pernah bertemu dengan Kappa. Bahkan, pernah tinggal selama beberapa bulan di dunia mereka yang terletak di bawah tanah. Kehidupan para Kappa ternyata tak jauh berbeda dengan masyarakat Jepang pada umumnya. Malah, salah satu dari mereka berkata bahwa teknologi para Kappa jauh lebih mutakhir dari pada teknologi manusia di atas tanah.
Ditulis pada tahun 1920, eksistensi makhluk Kappa tampaknya merupakan sebuah kontroversi. Bisa jadi menimbulkan pembahasan yang hangat ketika isunya diangkat. Barangkali hangatnya serupa Dean polemik pertentangan adat, agama, dan modernitas yang kerap muncul pada karya-karya sezaman yang menjamur di Indonesia. Oleh karena itu, Ryunosuke memilihnya dari begitu banyak makhluk mitologi yang ada. Atau barangkali karena Kappa memiliki keserupaan yang tidak bisa ditolak untuk dijadikan alegori terhadap masyarakat Jepang pada masanya. Lihatlah, secara morfologis mereka hampir identik dengan manusia. Hanya saja, ada paruh alih-alih mulut dan batok kura-kura di punggungnya.
Sesungguhnya tak ada konflik yang runcing dalam Kappa—
correct me If I am wrong, bisa jadi terlewat karena tidak fokus membaca. Ryunosuke menceritakan konflik yang sejatinya umum dalam kehidupan para Kappa sehari-hari; kelahiran, kehidupan asmara yang masygul, rivalitas, dunia kriminal, kepercayaan, hingga kehidupan setelah mati. Cerita-cerita yang pada dasarnya ditemukan juga dalam kehidupan manusia atau masyarakat Jepang secara lebih sempit. Tidak ada upaya memfantasikan Kappa dengan jalan cerita yang luar biasa. Hal-hal yang tak masuk akal menjadi mau tak mau diterima logika. Kappa menjadi selayaknya dongeng, hanya saja amanat-amanatnya lebih dalam dari sekadar dongeng.
Amanat-amanat itu muncul dalam rupa pandangan-pandangan kritis Ryunosuke terhadap masyarakat sosialnya. Terasa lebih personal dan memang seperti itu. Pandangan-pandangan tersebut tersaji baik dalam narasi maupun percakapan-percakapan dialognya pada sekitaran peristiwa-peristiwa penting hadir dalam cerita. Peristiwa-peristiwa yang barangkali bersumber dari apa-apa yang telah dilalui Ryunosuke dalam hidupnya yang berat.
RYUNOSUKE DAN TRAGEDI-TRAGEDI HIDUPNYA
Seperti Chairil Anwar yang fenomenal, Ryunosuke wafat pada usia yang terhitung cukup muda. Bedanya angka 35 tahun dan karena overdosis obat. Sebelum perpisahan itu, deretan tragedi buruk menjadi pengantarnya yang bersaling-silang dengan penyakit-penyakit yang menjengkelkan. Padahal pergerakan Ryunosuke dalam sastra adalah kalungan emas medali dan prestasi. Beratnya hidup yang harus ditempuh oleh Ryunosuke mengingatkan saya peristiwa kelahiran anak seorang Kappa bernama Bag—seekor Kappa kenalan tokoh utama. Siapa yang tahu bahwa di dunia Kappa, bayi-bayi yang akan lahir diberikan pertanyaan mengenai kerelaan mereka hidup di dunia. Iya untuk melanjutkan persalinan atau tidak untuk disuntik dan hilang dalam perut buncit yang kempis.
Masalah adalah kawan bagi manusia-manusia yang bernafas. Konflik menjadi topping tak terelakkan dari kudapan sehari-hari. Manusia-manusia—begitu juga dengan para Kappa—yang terlahir untuk hidup tidak diperkenankan untuk memilih mau atau tidak mau menikmatinya. Tercetuslah empati selama membaca, apakah Ryu diam-diam menyesali hidupnya?
.
Di dunia Kappa, hukum juga berjalan demi ketertiban. Ada serangkaian pasal dan undang-undang. Tak jarang, si tokoh utama berhadapan dengan berbagai kasus kriminal yang membuatnya geleng-geleng kepala. Dia juga menyaksikan perselisihan yang dialami oleh teman penyairnya, Tock. Tock si penyair bertikai dengan rival sesama penyairnya. Lucunya, di dunia nyata Ryunosuke juga pernah berselingsing paham dengan seorang penyair lain bernama Jun’ichiro Tanizaki. Nahasnya, kedua perselisihan itu harus diakhiri dengan kematian seseorang. Di dalam cerita Tock mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Sementara di dunia nyata, Ryunosuke membuat tubuhnya overdosis karena obat. Mereka sama-sama penyari yang bunuh diri.
Membaca Kappa kadang seperti mengilas balik peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Ryunosuke, beserta dinamika sosial yang menjadi sarang kehidupannya. Maka dari itu, buku ini terasa begitu personal. Seseorang berkata bahwa pada tahun 1920, karya-karya di tahun terakhirnya hidup lebih menyerupai otobiografi, dan tampaknya saya paham kenapa. Penulis memang paling cerdik menjual hidupnya pada berlembar-lembar narasi fiksi, sebut saja sebagai easter eggs.
Karena berupa alegori, pemikiran-pemikiran kritisnya tak terasa seperti menghunuskan pedang. Entah jika saya memosisikan diri sebagai masyarakat Jepang pada tahun 1920an. Tentu saja efek kejutnya akan berbeda, oleh karena itulah kenapa pada masanya buku ini meledak sebagai sebuah mahakarya—hingga sekarang. Ada perbedaan fondasi cerita yang sangat kentara dalam bentuk budaya dan bahasa, juga masa sepertinya.
MISTERI YANG TAK TERSAMPAIKAN
Dengan demikian ketika dibaca setelah zaman berganti berkali-kali, tetap ada yang tak terpahami dengan baik dari tulisan ini. Di beberapa bagian cerita, sejujurnya saya perlu memutar otak lebih keras untuk memahami keadaan yang digambarkan. Apakah masalahnya ada pada penggunaan bahasa hasil terjemahan atau apa. Bisa jadi begitu. Bisa jadi pula karena saya membacanya sambil mengantuk.
Sampai cerita berakhir, tak pernah ada identitas yang lebih jelas dari si tokoh utama selain seorang pasien rumah sakit jiwa yang tinggal di kamar nomor 23. Namun informasi-informasi mendekati akurat tersebar pada bagian-bagiannya untuk dikumpul dan simpulkan. Tak penting untuk mengetahui siapa si tokoh utama. Namun jika Ryunosuke Akitagawa penasaran sebesar apa namanya setelah dia wafat, dia berhasil menjadi sastrawan yang berpengaruh—yang tulisannya sampai di tangan-tangan manusia yang bahkan jauh tak sezaman dengannya.
Sebagai akhir, ada sebuah kutipan menarik di awal cerita yang sengaja saya akhirnya. Kutipan yang menampar dan menohok. Betapa manusianya sesungguhnya tak ada beda.
.
Leave a Reply