Hei, Ini Hannah.
Hannah Baker. Benar.
Suara perempuan itu menyapa ketika jari tangan saya menekan tombol play pada perangkat multimedia. Terdengar begitu kosong dan putus asa. Hari itu masih pagi dan saya baru saja selesai membersihkan diri. Memutuskan untuk menonton 13 Reasons Why pada Netflix sebelum mengikuti webinar dari Dinas Pendidikan mengenai optimalisasi penggunaan teknologi pada masa pembelajaran daring.
Jangan sesuaikan perangkat apapun yang kamu gunakan untuk mendengar suara ini.
Ini aku, hidup dalam stereo. Tidak ada pengembalian perangkat. Tidak ada pengulangan.
Dan kali ini, tentu saja tidak akan ada permintaan.
Jauh sebelum memutuskan untuk menonton 13 Reasons Why, saya lebih dahulu berkenalan dengan novelnya—kendati tidak pernah sempat menyelesaikannya. Jay Asher adalah penulisnya, dia akan mengajakmu mengenal dan menelusuri kehidupan seorang siswa SMA bernama Hannah Baker yang mengalami perundungan dan pelecehan seksual. Dan bagaimana dia memutuskan mengakhiri hidupnya secara tragis.
Ambil kudapan, dan duduklah!
Sebab aku akan menceritakan padamu kisah hidupku—lebih tepatnya mengapa hidupku berakhir.
Dan jika kamu mendengar rekaman ini, kamu adalah salah satu alasannya.
Saya tidak sempat mengambil kudapan, atau bisa duduk dengan nyaman. Sebab sebelum episode pertama benar-benar dimulai, mata saya sudah hampir berlinang. Siapa yang bisa sejalan dengan cerita tentang seseorang yang harus mengakhiri hidupnya. Terlebih, melalui rekaman yang dia buat sendiri sebelum memutuskan untuk mengiris tangannya, Hannah mengalami banyak sekali tekanan dan perlakuan tidak senonoh dari orang-orang di sekitarnya.
Sebab narasi-narasi fiksi yang berkembang pada bentuk tulisan atau tayangan, sesungguhnya adalah manifestasi dari kehidupan nyata manusia. Mendengar Hannah Baker bersenandika tentang dirinya dalam beberapa episode kemudian, membuat ingatan saya dibenturkan pada pengalaman-pengalaman serupa yang sempat saya dengar atau saksikan—atau bahkan saya alami sendiri. Apa yang dialami oleh Hannah Baker sangat dekat dengan kehidupan saya, kehidupan kamu, atau kehidupan kita.
Pelecehan seksual terhadap perempuan memanglah kejahatan yang laten. Sebab kejahatan semacam ini tidak hanya meninggalkan luka secara fisik, melainkan juga luka-luka batin baik yang tertinggal di alam bawah sadar maupun yang tampak dan membekas pada tindakan—bahkan sampai mengancam jiwa. Nahasnya, kasus-kasus pelecehan seksual selalu menyentuh angka ribuan. Bahkan UNHCR menyebutkan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan seksual atau fisik selama hidupnya.
Laporan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2018 mencatat setidaknya ada 5280 kasus pelecehan seksual yang terjadi sepanjang tahun tersebut. Sementara itu, jumlah ini mengalami perubahan pada tahun 2019 dengan menyisakan sebanyak 4898 kasus saja. Kendati mengalami penurunan, angka-angka ini tetap saja tidak membahagiakan. Sebab secara kualitatif bisa diartikan bahwa masih terdapat ribuan perempuan yang harus menderita karena dilecehkan. Data ini belum disempurnakan dengan kasus-kasus yang menjadi dasar dari gunung es—kasus-kasus yang tenggelam karena tidak terceritakan.
Pelecehan seksual terhadap perempuan adalah salah satu bentuk dari Kekerasan Berbasis Gender. Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan salah satu jenis kejahatan sosial. Kekerasan Berbasis Gender pula adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Materi ini tengah menjadi perhatian dari banyak pihak—baik pemerintah, lembaga tertentu, hingga masyarakat secara umum. Oleh karena itulah Kemendikbud mengangkat tema Kekerasan Berbasis Gender pada rangkaian webinar yang rutin diperbaharui pada kanal youtube resminya. Tema ini secara spesifik dibahas secara rinci pada webinar seri ke 15 dan 16.
Berbeda dengan istilah Pelecehan Seksual yang telah banyak digunakan dan dipahami secara konkret oleh masyarakat, istilah Kekerasan Berbasis Gender bisa jadi masih terdengar asing. Istilah ini pada awalnya muncul untuk menekankan jenis kekerasan yang terjadi pada perempuan. Namun nyatanya, spektrum dari Kekerasan Berbasis Gender menjadi lebih luas dari yang diperkirakan. Lantas, apa itu Kekerasan Berbasis Gender sesungguhnya?
PARA WISATAWAN ILMU YANG TERHORMAT!
Kita menelusuri kanal SINTAS untuk mengajakmu memahami lebih lekat mengenai Kekerasan Berbasis Gender. Oleh karena itu, duduklah dengan nyaman di atas gondola kami. Jangan lupa untuk mengenakan pelampung dan siapkan camilan!
Ini akan menjadi perjalanan yang sederhana tapi penuh dengan makna.
Kekerasan Berbasis Gender memiliki spektrum yang sangat luas. Pada laman UNHCR, Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violance) diartikan sebagai bentuk pelanggaran berat terjadap hak asasi manusia. Bentuk umum dari Kekerasan Berbasis Gender adalah segala tindakan berbahaya dan tidak menyenangkan yang menyerang individu tertentu berdasar pada gendernya.
Berbeda dengan kekerasan biasa, tindakan-tindakan tidak menyenangkan dalam Kekerasan Berbasis Gender secara spesifik disebabkan atau dilatarbelakangi oleh identitas gender tertentu. Semisal, pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan di tempat umum atau segala jenis intervensi seksual tanpa consent salah satu pihak. Jika kekerasan baik terhadap perempuan maupun laki-laki tidak memiliki sangkut paut dengan identitas dan keunikan gender tertentu, maka kekerasan tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori Kekerasan Berbasis Gender.
Namun, Kekerasan Berbasis Gender nyatanya tidak hanya tentang kasus kekerasan (pelecehan) seksual. Ada banyak bentuk dari Kekerasan Berbasis Gender. Dan seluruh bentuk tersebut selalu meninggalkan dampak yang buruk terhadap para korbannya.
KANAL I – BENTUK DARI KBG
Tidak hanya terpaku pada intervensi yang mampu melukai manusia secara fisik, penambahan istilah ‘Berbasis Gender’ membuat bentuk dari kekerasan ini menjadi begitu luas. Banyaknya bentuk yang ada berbanding lurus dengan total kasus yang terlaporkan dari tahun ke tahun.
Lantas, apa saja sih bentuk-bentuk dari Kekerasan Berbasis Gender?
Selain yang dirumuskan oleh IASC, masih banyak bentuk-bentuk dari Kekerasan Berbasis Gender yang dipetakan oleh institusi lain. Namun, bentuk Kekerasan Berbasis Gender yang kini tengah merebak adalah KBGO atau Kekerasan Berbasis Gender Online. Maraknya KBGO tidak terlepas dari dampak pandemik covid-19 di mana physical distancing digalakkan. Dengan demikian, komunikasi yang menjadi andalan tentu melalui fasilitas internet.
Kekerasan Berbasis Gender Online bisa terjadi dalam berbagai rupa seperti body shaming, pelecehan melalui fasilitas obrolan atau video, pencurian dan penyebarluasan data pribadi baik berupa informasi diri, foto dan atau video pribadi, hingga revenge porn. Laporan terkini mengenai maraknya kasus KBGO disebutkan naik hingga ratusan persen dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini saja (tercatat hingga awal Oktober) terdapat 1458 kasus KBGO yang berhasil dilaporkan pada Komisi Nasional Perempuan. Tentu, bilangan tersebut bukanlah bilangan yang kecil.
Jika kamu berpikir bahwa Kekerasan Berbasis Gender kerap terjadi di tempat tersembunyi dan pada malam hari, maka anggapan kamu salah. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) 2019 berhasil mengidentifikasi tempat-tempat yang kerap terjadi Kekerasan Berbasis Gender utamanya dalam bentuk kekerasan seksual, yakni Jalanan Umum, Transportasi Umum, dan Institusi Pendidikan (Sekolah dan Umum).
Jalanan umum dan transportasi umum menjadi dua tempat dengan persentase kasus yang tinggi. Hal ini berterima karena dua tempat itu merupakan area di mana banyak orang tidak saling mengenal berkumpul. Keanoniman secara psikologis selalu mampu membuat seseorang lebih berani melakukan tindak kejahatan dan pelecehan. Sementara Institusi pendidikan menjadi tanda tanya besar mengenai kedudukannya pada posisi ketiga. Bagaimana bisa tempat di mana ilmu dijunjung tinggi memiliki catatan buruk tentang kasus kekerasan seksual. Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana tindak kekerasan berbasis gender bisa terjadi.
KANAL T – BAGAIMANA KBG BISA TERJADI?
Ada banyak alasan kenapa kekerasan berbasis gender kerap terjadi, baik di tempat umum maupun pada institusi pendidikan. Namun, dasar dari penyebab-penyebab yang ada adalah relasi kuasa. Relasi dan kekuasaan dalam pandangan Michael Foucault berada dalam satu dimensi. Hal ini menjelaskan fenomena bagaimana ketika sebuah relasi terjalin (baik antar pribadi maupun komunitas), maka kekuasaan akan terbentuk sebagai sebuah risiko.
Perasaan dan pengetahuan yang penuh tentang kuasa kerap menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan berbasis gender. Pada ranah umum di mana pelaku dan korban tidak saling mengenal, relasi kuasa bisa jadi berakar dari ideologi patriarki. Itulah mengapa banyak pelecehan dan tindakan tidak menyenangkan terjadi pada perempuan atau lelaki dengan tingkat maskulinitas yang rendah dalam sudut pandang patriarki.
Pada ranah institusi pendidikan, dua unsur relasi sama-sama menjadi pendorong bagaimana sebuah kekerasan berbasis gender bisa terjadi. Dua unsur tersebut bernama hierarki dan ketergantungan. Ini menjelaskan kenapa pihak-pihak yang secara hierarki memiliki posisi yang rendah seperti siswa/mahasiswa kerap menjadi korban kekerasan baik berbasis gender maupun tidak dari pihak-pihak yang lebih tinggi selayaknya guru, dosen, atau jabatan-jabatan tertentu lainnya. Nahasnya, unsur ketergantungan terhadap pemegang nasib menjadi simpul mati yang menghabisi nyawa.
KANAL A – SIAPA SAJA KORBAN KBG?
Secara spesifik menilik pada kuatnya ideologi patriarki yang mengakar di dalam masyarakat Indonesia, lebih dari 80% korban dari Kekerasan Berbasis Gender adalah perempuan. Hal ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat Indonesia di mana perempuan selalu menempati posisi kedua dalam berbagai bidang dan kepentingan. Lantas, situasi ini membentuk pola relasi di mana pria kerap menjadi orang yang memiliki kuasa. Sehingga dalam beberapa kesempatan, perempuan diobjektivikasi untuk berbagai tujuan tertentu.
LALU BAGAIMANA DENGAN PRIA?
Membaca berbagai literatur tentang Kekerasan Berbasis Gender, mayoritas memberikan penekanan bahwa Kekerasan Berbasis Gender tidak ubahnya adalah kekerasan terhadap perempuan (KtP). Dalam narasi-narasi tersebut, pria kerap menjadi pelaku yang memegang peran sebagai orang jahat dan cabul. Padahal, pria juga tidak jarang menjadi korban.
Persentase paling kecil dari laporan yang ada, kekerasan berbasis gender terhadap pria kerap dilakukan oleh atasan perempuan di lingkungan kerja. Mayoritas, justru kekerasan gender terhadap pria dilakukan oleh sesama pria baik dengan kecenderungan perilaku seksual yang menyimpang maupun tidak.
Dan pria-pria dengan inferioritas yang beragam kerap menjadi bulan-bulanan, baik secara finansial maupun sudut pandang maskulinitas dalam konstruksi sosial yang dibentuk oleh ideologi patriarki. Terlepas dari itu, nilai-nilai kekerasan berbasis gender terhadap pria banyak terdedah dalam berbagai bentuk toxic masculinity yang memberikan penekanan tidak sesuai terhadap identitas gendernya.
KANAL S – APA SAJA DAMPAK KBG?
Apapun bentuk dari tindak kekerasan selalu meninggalkan dampak buruk pada hidup seseorang, begitu juga dengan kekerasan berbasis gender. Dalam Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Masa Darurat Kemanusiaan yang dipublikasikan oleh Inter-Agency Standing Committee menyebutkan bahwa konsekuensi risiko tinggi yang diderita oleh para korban kekerasan berbasis gender adalah masalah kesehatan yang parah dan pulih dalam waktu yang lama.
LUKA FISIK
Luka fisik yang diderita oleh para korban kekerasan berbasis gender muncul dalam berbagai bentuk, baik ringan maupun berat. Luka-luka ringan semacam memar atau luka terbuka dan berdarah mampu pulih dengan penanganan tertentu. Akan tetapi, luka-luka berat dan mengancam nyawa tidak jarang terjadi. Hal tersebut perlu mendapat perhatian khusus, sebab luka-luka fisik kategori berat selalu sejalan dengan tekanan secara psikologis.
TRAUMA PSIKOLOGIS
Bagian terburuk dari dampak kekerasan berbasis gender adalah luka batin, meliputi stres, depresi, hingga trauma psikologis. Luka-luka ini tidak tampak kasat mata dan perlu penanganan khusus baik dalam upaya diagnosa maupun penyembuhannya. Nahasnya, luka batin tidak hanya berasal dari tindakan para pelaku saja, masyarakat dengan stigma yang keliru terhadap para korban kerap menjadi sumber luka yang lain.
Luka batin yang tidak disembuhkan bisa bertransformasi menjadi berbagai jenis tindakan dan keputusan ekstrem dalam upaya menyembuhkan diri sendiri. Dilatarbelakangi dengan perasaan tidak berharga dan kotor, tindakan-tindakan menyembuhkan yang diambil adalah keputusan-keputusan keliru untuk menghentikan rasa sakit mereka secara pintas. Tidak jarang, melukai diri sendiri sampai pada praktek bunuh diri selalu menjadi pilihan.
PENURUNAN KUALITAS HIDUP
Luka-luka fisik dan psikologis selalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kualitas hidup seorang korban kekerasan. Terutama jika kekerasan berbasis gender yang terjadi masuk ke dalam ranah diskriminasi sosial dan ekonomi. Hal ini tampaknya lebih banyak menyerang perempuan dan lelaki yang secara ekonomi berada di bawah rata-rata. Mereka tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, bahkan untuk sekadar hidup normal selayaknya masyarakat umum.
Demikian adalah tiga dampak utama dari kekerasan berbasis gender. Selain tiga hal ini, tentu masih terdapat dampak-dampak lain yang diderita oleh para korban, baik secara fisik maupun sosial dan ekonomi. Penanganan yang tepat perlu disegerakan untuk menyelamatkan para korban, namun sayangnya tidak semua korban dari kekerasan berbasis gender memiliki kesadaran terhadap hal tersebut. Oleh karena itulah, perlu intervensi dari masyarakat yang sehat untuk melawan kekerasan berbasis gender secara serius dan berkelanjutan.
WISATAWAN ILMU YANG TERHORMAT!
Tidak terasa kita sudah sampai di ujung kanal SINTAS. Silakan lepas pelampung dan bersihkan gondola dari sampah dan barang bawaan Anda. Kara berharap setelah memahami materi ini, kamu bisa menjadi salah satu agen yang aktif melawan Kekerasan Berbasis Gender.
AYO LAWAN KEKERASAN BERBASIS GENDER!
Hari gini dilecehkan dan masih menutup diri?
Duh!
Hari gini dilecehkan dan masih menutup diri?
Duh!
2020 adalah tahun di mana teknologi berkembang dan akses serta keterbukaan informasi sudah jauh lebih lapang. Tahun di mana banyak orang melek ilmu pengetahuan ini adalah tahun yang pas bagi kamu untuk mengubah paradigma bahwa menjadi korban pelecehan sama dengan diam dan menutup diri. 2020 adalah saat yang tepat bagi kamu untuk speak up dan menunjukkan bahwa diri kamu adalah manusia sejati. Manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup tenang dan sama dengan orang lain—termasuk bebas dari kekerasan berbasis gender!
Lantas, bagaimana cara yang tepat untuk melawan kekerasan berbasis gender?
Dalam webinar bertema Anti Kekerasan Berbasis Gender yang ditayangkan dalam kanal youtube Cerdas Berkarakter Kemendikbud pada tanggal 24 November silam, ada tiga poin tindakan yang bisa masyarakat lakukan untuk memerangi jenis kekerasan yang menyebabkan akibat fatal ini.
1
Jangan Lakukan Kekerasan Apapun!
Poin tindakan pertama tentu ada pada kendali terhadap diri pribadi. Jika masyarakat ingin lingkungan mereka terlepas dari jerat kekerasan berbasis gender, maka setiap individu harus berkomitmen untuk tidak melakukan tindak kekerasan apapun. Setiap individu sudah selayaknya berinisiatif untuk menjadi agen perdamaian bagi satu sama lain.
2
Memberikan Dukungan pada Korban
Kendala terbesar dari upaya penanganan korban-korban kekerasan berbasis gender adalah penerimaan masyarakat. Korban kekerasan (dan atau pelecehan) yang seharusnya mendapatkan payung untuk berteduh kerap mendapat stigma negatif. Sementara para pelaku hidup dalam ketenangan karena pengaruh relasi kuasa. Kepercayaan masyarakat terhadap ideologi-ideologi tertentu yang tidak sempurna—baik terhadap norma dan adat maupun interpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang keliru—menjadi batu yang menambah beban.
Dengan demikian, sebagai bentuk pertanggungjawaban tersebut masyarakat perlu memberikan dukungan penuh terhadap korban-korban tindak kekerasan. Dukungan-dukungan yang diberikan bisa berupa moril maupun materil. Namun, dukungan yang sesungguhnya diperlukan oleh para korban adalah lingkungan yang nyaman. Lingkungan di mana ideologi adat dan agama diinterpretasi dengan cerdas.
3
Menyebarkan Informasi Penanggulangan
Penyebarluasan informasi mengenai latennya bahaya dari kekerasan berbasis gender perlu digunakan sebagai bentuk penerangan terhadap masyarakat. Hal ini mampu mengubah sedikit demi sedikit paradigma masyarakat yang keliru terhadap korban kekerasan serta menjadi bentuk dukungan yang konkret.
Tidak hanya tentang bahayanya, informasi mengenai upaya penanggulangan korban kekerasan berbasis gender juga perlu digalakkan. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk memberikan masyarakat serta korban dan pihak terkait rambu-rambu untuk menyembuhkan diri. Dengan demikian ketika sebuah kasus kekerasan berbasis gender terjadi di sekitarnya, mereka mampu memberikan pertolongan pertama yang tepat.
Prosedur penanganan korban kekerasan berbasis gender juga bisa diakses pada buku elektronik berjudul Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Masa Darurat Kemanusiaan yang disusun oleh IASC (unduh di sini). Namun, sebesar apapun upaya masyarakat dan instansi tertentu untuk memberikan bantuan, pahlawan sesungguhnya yang bisa menyelamatkan seorang korban dari seluruh luka-luka akibat KBG adalah dirinya sendiri. Oleh karena itu, mari bangkit para penyintas kekerasan berbasis gender! Seperti yang Tashoora dendangkan dalam selingan webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender yang dilaksanakan kemendikbud, “nyalakan apinya, gelap ini hanya sementara!”
Dan percik api pertama itu ada pada dirimu sendiri.
***
Hei, Ini aku!
Benar, orang yang pernah kamu kenal.
Benar, orang yang pernah kamu kenal.
Hari itu sore yang basah karena hujan turun deras dan panjang. Siang tadi padahal langit campuran toska dan biru. Saya duduk di teras sambil menyusun soal PAS daring untuk anak-anak. Sementara itu audio terdengar lantang dari gawai android, webinar Anti Kekerasan Berbasis Gender dari Kemendikbud tengah saya putar.
Jangan sesuaikan perangkat apapun yang kamu gunakan untuk membaca tulisan ini. Ini aku, hidup dalam bayang-bayangmu. Jangan dulu beranjak sebab tidak akan ada pengulangan. Dan kali ini, tentu saja tidak akan ada permintaan.
Jauh sebelum berpikir untuk menulis catatan ini sebagai bentuk partisipasi pada upaya memerangi tindak kekerasan berbasis gender, saya merasa tertohok. Setelah memahami apa itu KBG dan betapa laten bahayanya, saya sadar betapa banyak sekali tindak serupa yang terjadi baik pada orang-orang di sekitar maupun diri pribadi. Setiap orang setidaknya sekali dalam seumur hidup pasti pernah mendapatkan tindakan tidak menyenangkan berbasis gender.
Ambil nafas yang panjang dan duduklah!
Sebab aku akan menceritakan padamu sebuah kisah yang menarik—lebih tepatnya kisah yang membuat hidupku terasa berada di dalam neraka.
Dan jika kamu membaca tulisan ini, kamu adalah salah satu alasannya.
Sebab aku akan menceritakan padamu sebuah kisah yang menarik—lebih tepatnya kisah yang membuat hidupku terasa berada di dalam neraka.
Dan jika kamu membaca tulisan ini, kamu adalah salah satu alasannya.
Tidak setiap korban, tapi mereka yang tersakiti karena tindak kekerasan berbasis gender selalu berharap para pelaku tidak mampu duduk dengan nyaman—bahkan bernafas sekali pun. Sebagai bentuk upaya lain dari perang melawan kekerasan berbasis gender, membuat para pelaku sadar mengenai betapa buruknya hidup mereka adalah salah satu jalan untuk membuat dunia menjadi jauh lebih baik. Pilihanmu hanya dua, ikut menyalakan api atau hidup saja dalam kegelapan selamanya.
***[no-sidebar]
Leave a Reply