If you would like to find out more about what ASHAN HE can do for your business or to receive a project quote, don’t hesitate to contact us.
For new clients:
ashanhe93@gmail.com
Questions & support:
tuan@ashanhe.com
Saya bisa membayangkan dengan jelas bagaimana masyarakat Desa Mendis dahulu kala menyikapi limpahan pelepah pinang di dalam keseharian mereka. Sama halnya dengan Karet atau Kelapa Sawit, Pinang (Areca catechu) adalah pohon yang jamak tumbuh dan dibudidayakan di Sumatera Selatan.
Batangnya yang kuat dan tahan lama kerap digunakan sebagai bahan bangunan, sementara buah pinang memiliki banyak khasiat untuk tubuh. Pelepahnya yang jatuh menumpuk di atas area perkebunan tak bernilai apa pun. Masyarakat desa membakarnya hingga habis sebagai limbah.
Namun kesadaran mengenai upaya daur ulang atau pemanfaatan limbah yang semakin tinggi sepadan dengan penetrasi ilmu pembaharuan, membuat budaya itu semakin tahun semakin tidak tampak. Ini tidak hanya bersoal tentang upaya pengubahan nilai manfaat pelepah pinang, tapi usaha berkelanjutan untuk menyelamatkan lingkungan.
Inisiasi Rengkuh Banyu Mahandaru untuk memanfaatkan pelepah pinang menjadi alas makan ramah lingkungan adalah titik awal kita terbebas dari climate anxiety dan kemungkinan kondisi lingkungan di masa depan yang lebih buruk dari ini.
Sebagaimana kita, Rengkuh adalah masyarakat perkotaan yang tidak lagi awam dengan pola hidup tak sehat. Termasuk pada pola konsumsi makanan yang kerap menuntut penggunaan kemasan tak sehat seperti plastik dan utamanya styrofoam.
Baik untuk menunjang kepentingan pendistribusian makanan di lingkungan masyarakat pada pemenuhan hajat tertentu, maupun untuk mendukung laju ekonomi warung-warung makan kecil, kafe dan pertokoan, hingga bisnis UMKM yang tidak hanya bergerak pada pengadaan akses makanan secara langsung, namun juga daring.
Styrofoam menjadi pilihan yang compact dan murah.
Padahal penggunaan bahan ini sebagai pengemas makanan sangat meresahkan. Styrofoam tersusun dari poliester yang terbuat dari monomer stirena. Stirena juga menjadi bahan utama pembuatan karet sintetis, resin, dan plastik. Ini merupakan zat yang bersifat karsinogenik dan mampu memicu kanker pada manusia (Huff, et. all., 2011). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hubungan kausal antara paparan stirena dan kanker pada manusia dapat dipercaya dengan adanya temuan DNA tambahan dan penyimpangan kromosom pada limfosit objek-objek penelitian.
“Memang belum lama, kan, muncul banyak riset kayak Indonesia negara ke-2 penyumbang sampah ke lautan terbesar di dunia, gitu. Ya kalau lihat behavior orang Indonesia juga mungkin masih jauh, lah, dengan kedisiplinan membuang sampah terus banyak sekali juga sistem-sistem yang mungkin belum baik ketika me-manage sampah,” ungkap resah Rengkuh dalam dialog bersama Jimmy Oentoro pada 1 Cerita Untuk Indonesia, 16 Oktober 2024.
Keresahan lain dari penggunaan styrofoam adalah sampah bekas pakainya yang sulit terurai. Ditengarai bahwa benda ini baru akan terurai setelah 500 hingga jutaan tahun. Jika disandingkan dengan disiplin masyarakat Indonesia dalam mengatur sampah rumah tangga dan industri mereka yang buruk, maka styrofoam akan dan telah menjadi polemik sampah yang urgen untuk diselesaikan.
Keberadaannya sebagai sampah tidak hanya ada di daratan, melainkan juga di lautan, begitu temuan Rengkuh Banyu Mahandaru saat menjalakan salah satu tugas dari NGO di wilayah Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Temuan yang kemudian membuatnya berinisiatif untuk memberikan kontribusi yang tepat dalam upaya pemberdayaan lingkungan dam masyarakat.
Plepah kemudian hadir sebagai bentuk perkawinan antara keresahan masyarakat perkotaan yang berkontribusi terhadap padatnya sampah di lautan dan sumber daya pertanian daerah-daerah yang kaya. Riset mengenai pemanfaatan hasil tani non-kayu sebagai foodwear dan packaging dilakukannya di India, namun Rengkuh menjelaskan jika sistem serupa juga banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional Indonesia. “Cuma ya mungkin secara shape (atau) bentuk itu belum—functional-nya—handy, lah, atau mungkin masih ada leaking air dan lain sebagainya gitu.”
Saat ini, Plepah menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat Desa Mendis dalam pemanfaatan limbah pelepah pinang menjadi eco packaging dan foodwear bernilai ekonomis. Meski dalam prosesnya Rengkuh mengaku banyak mengalami perjalanan naik turun yang cukup berat.
Hingga November 2024, bisnis rintisan yang menerapkan metode fair trade ini sudah menarik keterlibatan dari 3.176 petani pinang. Tidak main-main, banyaknya limbah pelepah pinang yang digunakan mencapai angka 10 hingga 12 ton dari setiap petani. Ada pun produk kemasan yang berhasil diproduksi rata-rata sebanyak 2.000 hingga 5.000 tiap pekan. Dari proses tersebut, para petani bisa meraup untung Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per bulan.
Namun yang paling penting dari seluruh proses tersebut adalah berhasilnya penetrasi kesadaran lingkungan (eco conscious) yang digalakkan oleh Rengkuh Banyu Mahandaru pada masyarakat lokal. Dari satu titik wilayah kesadaran yang berhasil dibangun, berharap besar itu menjadi virus kebaikan yang kemudian diamini oleh titik-titik kesadaran yang lain. Hingga keresahan laten dari penggunaan styrofoam bisa diselesaikan dengan alternatif kemasan eco-friendly Plepah.
Upaya transformatif yang digaungkan Plepah bukanlah hal yang mudah, terutama ketika ideologi terusung bergerak tidak sejalan dengan pola hidup arus utama mayoritas masyarakat. Namun harapan-harapan untuk keberlangsungan transformasi itu tetap ada.
“Hari-hari ini memang masih ibaratnya kita small office in the big pool gitu atau big ocean gitu dan walaupun ini didukung, diapresiasi, tapi, kan, belum tentu ini dibeli gitu,” ujar Rengkuh ketika ditanya tantangan besar bagi Plepah saat ini.
Kendati upaya pengurangan penggunaan plastik dan produk sejenis dalam industri pengemasan makanan sudah mulai digalakkan, data masih menunjukkan penggunaannya pada kemasan makanan masih ramai. Misalnya temuan yang dilansir Indonesia Packaging Market Size, Analyzing Material Type, Innovations and Forecast to 2028 menyatakan lebih dari 50% produk yang didominasi makanan masih menggunakan kemasan berbahan plastik seperti flexible packaging (Polyethylene Terephthalate), menyusul rigid plastics, rigid metal, paper and board, serta glass.
Ini mengindikasikan bahwa penggunaan green packaging seperti Plepah meski menunjukkan grafik naik tiap tahun, belum begitu unjuk gigi di lautan pasar yang lebih luas.
Menariknya data Rakuten Insight dalam survei Sustainable Consumption pada Desember tahun lalu menunjukkan bahwa 79% konsumen Indonesia menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam penggunaan produk green packaging dengan membayar lebih untuk produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Rengkuh Banyu Mahandaru sebagai penggerak perubahan ini tidak hanya menuntut perubahan pada konsumen, pria yang lahir di Garut tanggal 26 Juli 1991 ini telah lebih dulu mentransformasi hidupnya untuk menjadi inisiator dari Plepah.
Lahir dari Ibu yang bergerak di bidang kehutanan, membuat Rengkuh kecil sangat menyukai kegiatan-kegiatan luar ruangan seperti melihat gunung dan tanaman. Kendati menamatkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung bidang product design, panggilannya untuk bersimbiosis dengan alam sangat kuat.
“Ketika sudah besar walaupun tidak diajarkan secara langsung tapi ada panggilan saja gitu bahwa indah, ya, gitu melihat alam yang tetap hijau, udara yang biru gitu, yang hal-hal seperti itu yang akhirnya membawa saya pada hari ini untuk mencoba,” tukas Rengkuh, “ya, membantu memberikan solusi dan di sisi lain, ya, berharap mungkin nanti keturunan-keturunan kita juga bisa tinggal di bumi yang lebih baiklah gitu, sih.”
Proses transformasi yang dilakukan Rengkuh untuk menjadi founder Plepah di mulai saat ia merasakan keresahan terhadap banyaknya sampah plastik dan styrofoam yang memicu perubahan iklim global. Lama berkecimpung menjadi product designer, Rengkuh memutuskan untuk terlibat pada proyek-proyek dari Non-Government Organization yang dimulai pada kisaran tahun 2016/2017.
“Institusi NGO begitu yang memang fokus di community development kemudian bantu-bantu di–dulu ada namanya—badan ekonomi kreatif dan dari sana melebar-melebar-lebar kemampuan saya sebagai product designer saya kembangkanlah untuk meng-create packaging ini,” terangnya.
Dalam pendirian Plepah pada tahun-tahun tersebut, Rengkuh Banyu Mahandaru bekerja sama dengan sesama alumnus Institut Teknologi Bandung yakni Almira Zulfikar dan Fadhan Makarim. Ketiganya melakukan riset awal dan uji coba teknologi di sebuah studio kecil di Bandung sebelum memboyongnya ke Sumatera Selatan.
Meski giat mempergunakan limbah pelepah pinang, namun di awal riset ternyata mereka menguji coba beberapa bahan alam seperti daun pisang dan jagung. Pelepah pinang kemudian dipilih karena memiliki daya tahan yang lebih baik. Bahkan, proses degradasinya di alam pun cukup singkat yakni sekitar 60 hari saja.
Proses penetrasi program pada masyarakat desa dilakukan dengan pendekatan etnografi. Kolaborasi ini diawali dengan upaya memahami penanganan limbah pelepah pinang pada culture masyarakat setempat, melakukan perbincangan mendalam, hingga berusaha untuk terikat dengan cerita-cerita para petani. “Sampai pada tahap yang akhirnya, oh, mereka merasakan secara langsung ketika meng-create produk,” lanjut Rengkuh, “dan membuat satu bisnis dari sesuatu yang dulunya tidak ada nilai ekonomi sekarang ada nilai ekonominya.”
Keputusan para petani dan pejabat daerah setempat untuk terlibat pada upaya Plepah pisang merupakan keberhasilan transformatif pertama mereka. Ruang produksi pertama di Desa Mundis yang bekerja sama dengan koperasi setempat, umumnya kaum perempuan di tempatkan pada bagian quality control sementara kaum pria ditugaskan pada proses produksi. Ruang produksi kedua dibangun di Jambi. Ruang produksi ketiga dibangun di Cibinong, Bogor pada saat Pandemi Covid-19.
Meski baru memiliki tiga ruang produksi, pemberian tugas sudah dilakukan dengan cukup efektif. Ruang produksi di Sumatera Selatan dan Jambi, produk diprioritaskan untuk pasar mancanegara. Sementara itu ruang produksi Bogor yang dibangun pada tahun 2020 berupaya untuk memenuhi permintaan pasar di area Jabodetabek, selain digunakan pula sebagai tempat riset dan pengembangan.
Upaya transformatif Plepah tidak hanya menyasar dalam negeri, melainkan juga mancanegara. Pada pasar dalam negeri, Plepah melakukan partnership dengan pemilik-pemilik resotran, “kemudian juga kita banyak berdiskusi dengan teman-teman dalam ekosistem-ekosistem industri food and beverage, kemudian perhotelan, dan lain sebagainya, dan di sisi lain memang kesadaran dari masyarakat pun sebetulnya sudah mulai bertumbuh.”
Kesadaran yang dimaksud mengenai bahayanya mempergunakan kemasan berbasis plastik karena akan berdampak pada kualitas nutrisi makanan dan kesehatan konsumen. Rengkuh berharap kesadaran tersebut mampu menarik lebih banyak konsumen untuk beralih pada penggunaan kemasan Plepah sebagai alternatif yang bio-degradable.
Memang nyatanya, permintaan terhadap kemasan ramah lingkungan cukup besar. “Wah masih sangat jauh,” jawab Rengkuh ketika ditanya apakah produk yang dihasilkan sudah berhasil memenuhi permintaan tersebut. “Karena data yang kami miliki dari 2022-lah kurang lebih itu hampir 600jt piece kemasan itu dikonsumsi di Indonesia per tahun.” Sementara itu penggunaan di berbagai aplikasi pemesan makanan online, penggunaannya per hari bisa mencapai nilai 150.000 pieces lebih. “Jadi kita mungkin 1% bahkan 2%-nya pun masih struggling untuk mencapai itu gitu.”
Kendati demikian, penetrasi ke pasar mancanegara bukan hanya isapan jempol belaka. Tidak berniat menjadi saviour complex, upaya transformatif ke arah yang lebih baik dan alami memang harus disebarkan. Sebaran mancanegara pertama dilakukan dengan mengekspor produk pada pertengahan tahun 2022 menuju Jepang, Australia, dan Uni Emirat Arab.
Pencapaian tersebut membuat Plepah mendapatkan banyak penghargaan dalam negeri, seperti penghargaan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Satu tahun kemudian pada 2023, Plepah diberikan kesempatan luas untuk memaparkan idealisme transformatifnya terhadap lingkungan lebih jauh pada dunia lewat ajang Hannover Messe 2023 di Jerman. Acara ini juga dihadiri oleh (mantan) Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Erick.
Menciptakan masa depan di mana bumi bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman tanpa limbah adalah tanggung jawab masyarakat saat ini. Namun nyatanya, berupaya untuk mengembangkan satu titik transformatif menjadi ruang tiga dimensi yang menyasar lebih banyak sudut tempat masyarakat global menetap tidaklah mudah.
Pricing menjadi kendala utama pada pengembangan tingkat konsumsi Plepah di pasar. Jika dibandingkan dengan harga styrofoam yang berkisar ratusan rupiah, harga kemasan Plepah yang bermain di angka ribuan terhitung cukup pricy. “Memang pricing point kan tidak bisa kita adjust dengan cepat, ya, pak kita butuh banyak sekali stakeholder yang bisa membantu mungkin entah itu dari apa instrumen-instrumen keuangan begitu dan lain sebagainya.”
Lebih lanjut Rengkuh menjelaskan jika subsidi secara langsung pada Plepah belum ada, “kalau dibandingkan dengan negara-negara lain yang saya lihat memang ada itu pola-pola subsidi,” lanjutnya, “tapi peran pemerintah dalam membantu UKM-UKM atau usaha rintisan seperti saya ini nih saya kira ada lah begitu.”
Solusi pemasaran saat ini yang dilakukan oleh Plepah adalah dengan menggaet kerja sama usaha penyedia makanan atau food and beverage, marketplace, serta partnership dengan aplikasi food service delivery online dengan menambahkan opsi produk Plepah sebagai kemasan makanan di akhir pesanan.
Menilik pada tren yang sedang berkembang, Rengkuh Banyu Mahandaru percaya jika bisnis transformatif yang berupaya untuk memberikan dampak baik pada lingkungan akan semakin berkembang. “Saya kira mungkin 10-15 tahun, ya, harapannya anak-cucu saya atau anak saya mungkin cucu bapak begitu mungkin sudah harapannya bisa hidup dengan sesuatu produk-produk pilihan alternatif ramah lingkungan lebih banyak, lah.”
Ini didasarkan pada kecenderungan inisiator bisnis dan para pengusaha yang mulai membentuk bisnisnya untuk berorientasi pada isu-isu lingkungan. Di mana perubahan kiblat tersebut berpengaruh pada infrastruktur keuangan dan regulasi yang kuat terhadap produk-produk inovatif ramah lingkungan.
Upaya Rengkuh dalam menciptakan distopia tidak hanya pada usaha menyebarluaskan produk Plepah, tapi juga mendukung proses produksinya dengan energi-energi terbarukan. Dengan demikian, green product akan selalu ramah lingkungan sejak ia mentah, diproses, digunakan, hingga terurai di tanah.
Rengkuh berharap produk-produk ramah lingkungan seperti Plepah di masa depan tidak menjadi produk bersegmentasi khusus, namun digunakan secara merata tanpa pandang bulu. “Harapannya nanti juga orang nggak tahu Plepah tapi produknya ada di mana-mana. Jadi nggak usah tahu saya mungkin, yang menginisiasi usaha, yang mungkin produknya ada di mana-mana gitu.”
Keresahan-keresahan terhadap masa depan bumi karena perubahan iklim yang disebabkan oleh sampah dan dampak-dampaknya sudah sejak lama menjadi perbincangan masyarakat global. Keresahan bisa menjadi climate anxiety tak berkesudahan, namun di tangan Rengkuh Banyu Mahandaru, keresahan-keresahan tersebut berbuah solusi berkelanjutan.
Urgensi-urgensi menyelamatkan kondisi lingkungan selaiknya memang dibalas dengan aksi-aksi yang diperhitungkan, dan disebarluaskan untuk menjadi pendorong transformasi masal tak berkesudahan. Meski berawal dari perubahan alas dan kemasan makan yang tampak tak seberapa, tapi data berkata itu berdampak luar biasa.
Jangan lelah merengkuh masa depan bebas sampah dan limbah. Bahkan jika harus dengan meminang pelepah pinang, itu ternyata bisa berujung pada suksesi pemberdayaan lingkungan.
#BersamaBerkaryaBerkelanjutan #KitaSATUIndonesia